Oleh : Dr.H.M.Jamil Misbach, SH, MH

Sejak berdiri (1912), Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) terkenal dengan
slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah” yang kemudian dalam kegiatannya hampir
tidak dapat dipisahkan dari unsur perwakafan (khususnya tanah).
Sebagai suatu perbuatan hukum, wakaf telah lama ada dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Pada masa-masa awal penyebaran Islam, kebutuhan akan Masjid untuk menjalankan
ibadah dan dakwah membawa dampak positif, diantaranya adanya pemberian tanah wakaf.
Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat praktik perwakafan di Indonesia mengalami
perubahan dalam perkembangannya. Selain tradisi wakaf untuk pembangunan tempat ibadah,
mulai muncul wakaf lain untuk kegiatan pendidikan seperti pesantren dan madrasah, kemudian
pada periode berikutnya pemanfaatan wakaf terus berkembang sehingga mencakup pelayanan
sosial kesehatan seperti pendirian klinik dan sebagainya.
Jika melakukan penelitian sejarah perwakafan di Indonesia, maka kita dapat melakukan
beberapa pembagian fase perkembangan antara lain: Fase Awal Masuknya Islam di Nusantara;
Fase Pemerintahan Kolonial Belanda; Fase Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan
Orde Baru); dan Fase Pemerintahan Pasca Reformasi.
Pada awal masuknya Islam di Nusantara, awal mula tumbuhnya wakaf diperkirakan sejak abad
ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, ditandai dengan peran Walisongo ketika memperkenalkan Islam ke lingkungan Istana Kerajaan di kala itu, dimana para wali biasanya
memulai dengan mendirikan masjid dan pesantren di lingkungan istana.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, persoalan wakaf sudah mendapat perhatian yang
ditandai dengan adanya beberapa peraturan yang berkenaan dengan wakaf seperti pada waktu
Pengadilan Agama (Priesterraad) didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 Tahun 1882,
dimana salah satu kewenangannya adalah menyelesaikan masalah wakaf. Selain itu, ada pula
peraturan-peraturan lain berkenaan dengan wakaf yang dikeluarkan pada masa itu antara lain:
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No.125/3; Surat Edaran Gubernemen
tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A; Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 No 1273/A.
Pasca terbentuknya negara Republik Indonesia maka perwakafan diatur oleh Departemen
Agama, dimana hal tersebut didasarkan pada antara lain Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1949 jo. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1980, serta Peraturan Menteri Agama No. 9 dan
No. 10 Tahun 1952, kemudian selanjutnya di bawah Departemen Agama menerbitkan berbagai
regulasi yang berkaitan dengan perwakafan.
Khusus dalam hal kaitannya dengan wakaf tanah, terdapat pihak lain yang terlibat selain
Departemen Agama yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria, yaitu adanya Surat
Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5 Maret 1959 No.Pem.19/22/23/7;SK/62/Ka/59 P, serta berbagai peraturan lain yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria.
Meskipun demikian, peraturan-peraturan tersebut, belum cukup memadai sehingga banyak
tanah-tanah wakaf terbengkalai, bahkan ada yang hilang. Sehingga persoalan wakaf diberi
perhatian khusus dalam pembaharuan hukum Agraria di Indonesia. Dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Bab II, Bagian
XI, Pasal 49, disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di
Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah Tentang
Perwakafan Tanah Milik. Namun Peraturan Pemerintah tersebut baru dikeluarkan 17 tahun
kemudian setelah berlakunya UUPA tersebut yaitu Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dalam perjalanannya kemudian, sejarah perkembangan perwakafan terus mengalami
perubahan dan inovasi bersama laju perubahan zaman yang kemudian saat ini secara khusus
diatur dalam tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, terdapat pengakuan status
organisasi (keagamaan) sebagai nazir (pengelola), dimana memberikan kemungkinan terhadap
suatu organisasi keagamaan bertindak sebagai nazir harta benda wakaf.
Dalam hal mengkorelasikan antara Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dengan
pengelolaan harta benda wakaf, maka Muhammadiyah jauh sebelum lahirnya Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, telah lama memperoleh status badan hukum
(recthpersoon) sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (1914) dan telah menjalankan
fungsinya sebagai nazir, sehingga pada tahun 1972 Muhammadiyah mendapat penunjukan
sebagai badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik oleh pemerintah
Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan
No.14/DDA/1972 Tentang Penunjukan Persyarikatan Muhammadiyah Sebagai Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Tanah Dengan Hak Milik.
Berkenaan dengan Pembentukan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
sebelumnya dilakukan pertemuan ulama, pakar/tokoh, dan ormas Islam dengan Departemen
Agama, dimana para pakar dan ulama serta ormas Islam memberikan pandangan seputar
kebijakan pemerintah seputar regulasi hukum wakaf.
Dalam pertemuan tersebut K.H. Syukri Zarkasyi (Gontor) menyatakan, dalam penyusunan
Undang-undang Wakaf kelak, jangan sampai pemerintah memosisikan sebagai penguasa yang
serba mengatur. Adapun Muhammadiyah memberikan pandangannya, posisi pemerintah
seharusnya lebih bersifat koordinatif dalam kaitannya dengan Badang Wakaf Indonesia
yang dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat. Senada dengan Muhammadiyah,
Persis (Persatuan Islam) mengisyaratkan organisasi pengelola wakaf atau Badan Wakaf
Nasional dibuat oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Sehingga fungsi pemerintah
adalah sebagai pengawas dan pelindung dengan menjalankan Undang-Undang agar dapat
mengamankan benda-benda wakaf yang disengketakan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *