Tulisan ini sengaja dibuat sehari setelah genap seratus tahun kematian KH Ahmad Dahlan. Seratus tahun hanyalah soal perhitungan waktu, dan bukan itu sebenarnya yang menjadi perhatian kita. Tapi kita ingin mengambil ibrah atas kepergian seseorang yang menghadap penciptanya dengan bekal yang sangat cukup dan juga memberi teladan bagi mereka yang ditinggalkannya.
KH Ahmad Dahlan wafat pada usia yang belum terlalu tua, yaitu kurang dari 55 tahun. Setahun sebelum meninggal Beliau menderita sakit paru-paru sehingga dokter menyarankan agar beristirahat di Tretes, Jawa Timur. Alih-alih beristirahat, KH Ahmad Dahlan justru sibuk menyampaikan dakwah di sekitar tempat istirahatnya. Karena tidak kunjung membaik, akhirnya Beliau dibawa kembali pulang ke Yogyakarta.
Dokter pun menyarankan agar sementara waktu berhenti dulu dari aktivitas dakwah dan berorganisasi, namun saran itu ditolaknya. Bahkan saat istrinya mengingatkan agar tidak keluar rumah dulu, KH Ahmad Dahlan berkata; “Janganlah dokter dan istriku menjadi syaitan yang menghalangiku untuk berjuang. Waktuku tinggal sedikit, biarlah aku menyelesaikan kewajibanku ini agar kelak aku bisa mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah”.
Tanggal 23 Februari 1923 KH Ahmad Dahlan meninggal dunia. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya KH Ahmad Dahlan mengumpulkan istri dan anak-anaknya serta teman dan murid terdekatnya. “Nampaknya ajalku akan sampai. Aku sudah tidak lagi memiliki apa-apa yang bisa aku wariskan kepada kalian. Aku hanya punya Muhammadiyah yang ingin aku titipkan kepada kalian. Rawatlah dan hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan janganlah kalian mencari penghidupan dari Muhammadiyah”.
Dalam hidupnya KH Ahmad Dahlan benar-benar mendedikasikan waktu, tenaga, dan hartanya untuk berdakwah, khususnya melalui Muhammadiyah. Oleh larena itu di akhir hidupnya KH Ahmad Dahlan tidak memiliki harta berlimpah. Suatu ketika Beliau pernah menasehati para muridnya; “Kalian jangan berteriak akan menyerahkan nyawa kalian untuk membela agama, karena sesungguhnya nyawamu itu menjadi wewenang Allah kapan akan mengambilnya. Berkorbanlah kamu dengan hartamu, karena harta itulah yang kelak akan menyelamatkanmu di akhirat.”
KH Ahmad Dahlan benar-benar telah berdagang kepada Allah SWT dengan keberuntungan yang besar. Betapa tidak? Setelah ditinggalkannya, Muhammadiyah bukan surut tetapi justru semakin berkembang dan meluas dengan berbagai amal sosialnya yang membawa manfaat bagi ummat Islam dan masyarakat luas. Bahkan Muhammadiyah telah menjadi ladang amal bagi banyak orang tanpa mengurangi nilai jariyah para pendirinya.
Lalu apa yang menjadi kunci bagi Muhammadiyah sehingga tetap bisa membawa kemanfaatan bagi masyarakat luas? Semua tidak lepas dari semangat keikhlasan dan kepedulian sosial kepada sesama. Muhammadiyah memulai usahanya bukan atas dasar pertimbangan untung rugi yang bersifat material belaka. Keuntungan yang ingin diraih Muhammadiyah adalah seberapa besar usahanya membawa kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya. Jika dalam usahanya tersebut terdapat keuntungan yang bersifat materi maka keuntungan itu akan dikembalikan menjadi modal untuk memperbesar kemanfaatan, bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri.
Oleh karena itu kita harus memahami pesan terakhir KH Ahmad Dahlan agar tidak mencari penghidupan dari Muhammadiyah, jangan dipahami secara sempit bahwa kita tidak boleh menerima upah atau gaji dari Muhammadiyah, tetapi janganlah kita menuntut lebih kepada Muhammadiyah untuk mendapatkan sesuatu, sementara apa yang kita berikan untuk berdakwah dan berjuang lewat Muhammadiyah tidaklah sepadan bahkan jauh dari apa yang didapatkan dari Muhammadiyah.
Namun begitu, untuk saat ini tidaklah pantas jika ada orang yang berani mengatakan bahwa dia telah berbuat yang terbaik untuk Muhammadiyah, apalagi merasa punya jasa besar untuk Muhammadiyah. Ketahuilah bahwa saat ini kitalah yang diuntungkan oleh Muhammadiyah. Bahkan jika kita menyerahkan seluruh tenaga, waktu, dan harta kita kepada Muhammadiyah, kita pun masih diuntungkan karena yang kita berikan kepada Muhammadiyah jauh lebih besar dirasakan kemanfaatannya daripada jika itu semua hanya kita usahakan sendiri. Ibarat kita menuangkan air, jika kita tuang sendiri ke tanah maka hanya bisa untuk menyiram satu tanaman. Tapi jika air itu kita tuangkan ke sungai besar, maka air itu akan berlipat-lipat kekuatan dan kemanfaatannya. Itulah gambaran jika kita beramal lewat Muhammadiyah. Amal jamaah kita akan dirasakan jauh lebih besar dan luas karena adanya sinergi dan kolaborasi amal.
KH Ahmad Dahlan memang telah meninggalkan kita semua, tetapi sungguh kematiannya justru telah menghidupkan dirinya hingga saat ini. Maka pantaslah jika Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh (meninggal) di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 154)
Gunung Salak, 24 Februari 2023
Penulis : Muhammad Izzul Muslimin